Jumat, 24 Juli 2009

...Rahtawu...

Kota Kudus mempunyai banyak potensi wisata alam yang masih hijau, misalnya salah satu tempat yang merupakan bagian dari pegunungan muria. Inilah Rahtawu.

Rahtawu adalah sebuah pegunungan dengan tinggi 1522 km yang merupakan bagian dari Gunung Muria yang berada di Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Kita tahu bahwa di sana banyak pemandangan alam yang masih hijau dan indah. Rahtawu sendiri punya puncak sendiri yang disebut Puncak Songolikur. Dari puncak tersebut, katanya kita bisa melihat 3 kota yang mengililingi gunung Muria.

(Puncak Songo Likur)

Desa Rahtawu sendiri merupakan desa yang dulunya terisolasi, meski jaraknya hanya 18 km dari pusat kota Kudus. Pada tahun 1977 Desa Rahtawu sudah bisa dilalui mobil walupun hanya sampai di depan balai desa setempat. Hal itu berkat Bupati Kudus saat itu Marwotosuko mengerahkan ratusan TNI, alat berat dan peledak untuk mengepras dinding batu dan menunmbangkan pohon – pohon besar.

Nama Rahtawu mempunyai makna yang lumayan seram. Kalau menurut sejarah, Rah (darah) dan Tawu (Kuras) yang berarti "kuras darah". Legendanya, dulu Rahtawu merupakan hutan yang barang siapa saja masuk tanpa dibekali amal pasi akan mati. Di Rahtawu juga ditemukan banyak petilasan – petilasan karena dipercayai sebagai tempat bertapanya para dewa.

(para pendaki gunung)

Petilasan tsb antara lain :

Petilasan Eyang Jaga Wangsa,
Petilasan Eyang Abiyasa, dan masih banyak lagi.

Meskipun semua "petilasan pertapaan" berkaitan dengan nama-nama tokoh pewayangan (Mahabharata-Hindu), namun di Rahtawu ditabukan untuk mengadakan pagelaran wayang. Konon menurut cerita para penduduk setempat, pernah ada yang melanggar larangan tersebut, maka datang bencana angin ribut yang menghancurkan rumah dan dukuh yang mengadakan pagelaran wayang tersebut. Namun untuk mendengarkan siaran wayang kulit dari pemancar radio diperbolehkan.

Selain petilasan, di sana juga terdapat sebuah sendang, yaitu Sendang Buton, yang dipercaya bisa membawa berkah bagi yang mandi di sana.

Di sana juga ada sebuah kesenian adat yang dinamakan kesenian Tayub, biasanya diadakan pada hari Sabtu Kliwon pada bulan Apit (kalender Jawa) pada perayaan “Sedekah Bumi”.

Rabu, 22 Juli 2009

Rumah Adat Kudus

Rumah Adat Kudus merupakan salah satu rumah tradisional yang mencerminkan perpaduan akulturasi kebudayaan masyarakat Kudus. Rumah Adat Kudus memiliki atap yang disebut “Joglo Pencu”, dengan bangunan yang didominasi seni ukir empat dimensi (4-D) khas kota Kudus yang merupakan perpaduan gaya seni ukir dari budaya Hindu (Jawa), Persia (Islam), Cina dan Eropa. Rumah ini diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 1500-an Masehi dengan 95% kayu Jati asli (Tectona grandis).

Rumah aAdat Kudus ini sekarang berada di kompleks Musium Kretek, Ds. Getas Pejaten No. 155, Kecamatan Jati, Kota Kudus.

Keistimewaan Rumah Adat Kudus



Keunikan dan keistimewaan Rumah Adat Kudus tidak hanya terletak pada keindahan arsitekturnya yang didominasi dengan seni ukir kualitas tinggi, tetapi juga pada kelengkapan komponen-komponen pembentuknya yang memiliki makna filosofis berbeda-beda.

Pertama, bentuk dan motif ukirannya mengikuti pola kala (binatang sejenis laba-laba berkaki banyak), gajah penunggu, rangkaian bunga melati (sekar rinonce), motif ular naga, buah nanas (sarang lebah), motif burung phoenix, dan lain-lain.
Kedua, tata ruang rumah adat yang memiliki jogo satru/ruang tamu dengan soko geder-nya/tiang tunggal sebagai simbol bahwa Allah SWT bersifat Esa/Tunggal.
Ketiga, gedhongan dan senthong/ruang keluarga yang ditopang empat buah soko guru/tiang penyangga. Keempat tiang tersebut adalah simbol yang memberi petunjuk bagi penghuni rumah supaya mampu menyangga kehidupannya sehari-hari dg mengendalikan 4 sifat manusia: amarah, lawwamah, shofiyah, dan mutmainnah.
Keempat, pawon/dapur di bagian paling belakang bangunan rumah.
Kelima, pakiwan (kamar mandi) sebagai simbol agar manusia selalu membersihkan diri baik fisik maupun ruhani.
Keenam, tanaman di sekeliling pakiwan, antara lain: pohon belimbing, yang melambangkan lima rukun Islam; pandan wangi, sebagai simbol rejeki yang harum/halal dan baik; bunga melati, yang melambangkan keharuman, perilaku yang baik dan budi pekerti luhur, serta kesucian.
Dan ketujuh, tata letak rumah yang menghadap ke arah selatan mengandung makna agar si pemilik rumah seolah-olah tidak “memangku” Gunung Muria (yang terletak di sebelah utara), sehingga tidak memperberat kehidupannya sehari-hari.

(Bag. dalam Rumah Adat Kudus)

Selain itu, tatacara perawatan yang dilakukan oleh penghuni Rumah Adat Kudus juga merupakan kekhasan tersendiri yang mungkin tidak bisa dijumpai di tempat-tempat lain. Jenis bahan dasar yang digunakan untuk merawat Rumah Adat Kudus adalah ramuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman empiris yang diwariskan secara turun-temurun, yaitu ramuan APT (Air pelepah pohon Pisang dan Tembakau) dan ARC (Air Rendaman Cengkeh). Dengan mengoleskannya secara berulang-ulang, ramuan ini terbukti efektif mampu mengawetkan kayu jati, sebagai bahan dasar Rumah Adat Kudus dari serangan rayap (termite) dan juga membuat permukaan kayu menjadi lebih bersih dan mengkilap.

Seiring berjalannya waktu, jumlah Rumah Adat Kudus semakin berkurang, karena setelah sang pemilik meninggal dunia, banyak ahli warisnya yang kemudian menjual rumah tersebut. Didasari atas kekhawatiran akan punahnya warisan budaya yang bernilai sejarah tinggi ini, oleh karena itu pada tahun 1828 M para pengusaha di Kudus memrakarsai pembangunan kembali Rumah Adat Kudus di kompleks Musium Kretek.

Dandangan, Penetapan Awal Puasa

Dandangan, merupakan salah satu tradisi masyarakat “Kota Jenang” (Kudus) untuk menyambut bulan Suci Ramadhan tiap tahunnya.

Tradisi Dandangan adalah tradisi yang sudah lama ada di Kudus yang diadakan setiap tahun menjelang bulan Ramadhan. Dandangan diadakan dengan cara menggelar dagangan di lapak-lapak kaki lima selama dua minggu menjelang Ramadhan, bahkan kadang-kadang hingga satu minggu di awal bulan Ramadhan. Mungkin semacam pasar malam, karena pada kenyataannya walaupun dandangan dibuka pagi hari, namun pengunjung paling ramai di malam hari. Apalagi pada malam-malam libur seperti hari Jum’at malam hingga Minggu malam.

Ada banyak yang dijual di Dandangan ini, mulai dari barang pecah belah, makanan dan minuman, hingga furnitur alias mebel dengan kualitas standar. Setiap tahun selalu banyak lapak yang berjualan dan semakin banyak pula yang berkunjung, baik membeli ataupun hanya melihat-lihat saja.




(macam² barang yang dijual)

Dandangan, secara etimologi berasal dari kata “dandang” atau beduk yang ditabuh bertalu-talu oleh Syekh Ja’far Shadiq. Namun, kata tersebut juga bisa diasumsikan berasal dari kata “ndang-ndang” (Bahasa Jawa) yang berarti “cepat-cepat”. Kata cepat-cepat itu bisa dimaknai sebagai selekasnya menyiapkan makan sahur menjelang awal puasa esok hari.

Secara historis, upacara rakyat kudus itu sudah eksis sejak berabad-abad yang lalu, tepatnya sejak Sunan Kudus Syekh Ja’far Shadiq masih sugeng. Konon, sejak zaman Syeh Jakfar Shodiq, salah satu wali songo penyebar agama Islam di Jawa, setiap menjelang bulan puasa, ratusan santri Sunan Kudus berkumpul di Masjid Menara guna menunggu pengumuman dari Sang Guru (Sunan Kudus) tentang awal puasa. Para santri tidak hanya berasal dari Kota Kudus, tapi juga dari daerah sekitarnya seperti Kendal, Semarang, Demak, Pati, Jepara, Rembang, bahkan sampai Tuban, Jawa Timur. Pada hari menjelang puasa, setelah berjamaah shalat Ashar, Sunan Kudus langsung mengumumkan awal puasa. Pengumuman itu dilanjutkan dengan pemukulan beduk yang berbunyi “dang-dang-dang”. Suara beduk yang bertalu-talu itulah yang menimbulkan kesan dan pertanda khusus tibanya bulan puasa. Berawal dari suara dang-dang, setiap menjelang puasa, masyarakat Kudus mengadakan tradisi Dandangan.

Setidaknya, hal itulah yang terungkap dari sejumlah literatur lama dari berbagai perpustakaan kuno di kota Kudus terkait dengan asal usul tradisi dandangan.

Senin, 20 Juli 2009

Mesjid Menara, Akulturasi 2 Kebudayaan...

Mengagumkan, itulah salah satu kata yang tepat buat ngegambarin bangunan yang menjadi icon kota kudus. Itulah masjid menara kudus. Masjid yang menurut sejarah ini dibangun pada tahun 956 Hijriah atau 1549 Masehi ini merupakan salah satu dari wujud akulturasi dari budaya Islam dan Hindu.


Mesjid yang berlokasi di desa Kauman, kecamatan kota, kabupaten Kudus konon batu pertamanya merupakan batu yang berasal dari Baitul Maqdis Palestina yang merupakan oleh – oleh Syekh Ja’far Shadiq dari perjalanan Hajinya.

Menurut sejarah, Syekh Ja’far Shadiq atau yang bisanya dikenal dengan Sunan Kudus ini membangun menara kudus dengan corak hindu agar warga Kudus yang dulunya beragama hindu tidak merasa tersinggung dengan kehadiran agama Islam. Juga agar warga hindu mau dengan senang hati masuk agama Islam.


(Masjid Al-Aqsa Kudus)

(simbol akulturasi 2 kebudayaan)

Minggu, 19 Juli 2009

Galeri yang Terlupakan...

Inilah salah satu identitas kota kudus sebagai kota kretek yang seharusnya patut kita banggakan.


Musium Kretek yang terletak di Ds. Getas Pejaten No. 155, kecamatan Jati, Kabupaten Kudus merupakan salah satu identitas kota Kudus sebagai Cigarette City (hohoho...Kota Kretek maksudnya...he3x). Seperti yang telah kita ketahui bersama musium ini berisi segala macam pernak – pernik yang dipake untuk buat rokok pada jaman dolo sampe bermacem – macem jenis rokok dari jamannya Rajanya Rokok Ki Notosemito sampe rokok – rokok zaman sekarang. Di sini juga ada diorama (miniatur) proses pembuatan rokok pada zaman dolo, alat – alat yang digunain buat promosi pada zaman dolo, foto – foto dokumentasi perjalanan sejarah rokok – rokok di Kota Kretek ini juga ada.

(Ki Noto Semito, Raja Kretek Kudus)

(Benda2 promosi masa lalu)


(cara promosi masa lalu)

Musium ini juga sering digunain buat observasi dan penelitian (biasanya anak2 SMA yang lagi dikasih tugas Sejarah). Di musium ini juga ada fasilitasnya juga lho, contohnya ada wartel, warung – warung yang siap memanjakan lidah kita dengan masakan – masakan khas kota ini n yang paling penting....Toilet.

Jadi, pokoknya lengkap deh kalo kalian pengen observasi, mengetahui lebih jauh lagi tentang sejarah pekembangan industri rokok yang telah melambungkan kota ini, ataupun cuma sekadar jalan – jalan karena ada tamannya juga.

Tapi sayang keadaan musium ini sekarang kurang mendapat perhatian serius dari pemkab kudus. Bisa dilihat dari keadaan benda – benda yang punya nilai sejarah tinggi itu banyak dihiasi oleh debu – debu kotor. Oleh karena itulah musium ini menjadi seperti “galeri yang terlupakan...”.